Pahlawan Fonsia



 

Oleh : Erwin Cahya Nugraha

Dalam sebuah aula yang gelap dan kelam.

“Argh! Aku, aku tidak yakin dapat menahan lebih banyak serangan lagi!” Teriakku.

“T-Tunggu saja! Pertahankan strategi yang sudah direncanakan!” Jawab Awan.

Sosok raksasa bertanduk itu tertawa terbahak-bahak seraya kami berjuang untuk mendaratkan serangan. Sambil menghindar, raksasa itu terus merapalkan mantra bola api dan melemparkannya pada kami.

“Hmmm. Kedua senjata pusaka Fonsia. Memang, bilahnya dapat menembus kulitku. Namun, kalian tidak memiliki peluang membunuhku! Ahahaha! Aku akan tetap menghindar dan mengubah kalian menjadi arang dengan serangan bola api yang bertubi-tubi!” Teriak Sang Raja Iblis.

 

Beberapa minggu sebelumnya.

 

Namaku adalah Awan. Temanku yang terlalu santai di sebelah sana adalah Anon. Kemarin, Anon mengundangku ke rumahnya untuk menunjukkan sebuah “temuan” ajaib; sebuah kantong permen yang didapatnya dari menolong seorang kakek tua. Dari penuturan kakek itu, permen ini dapat membantu agar kehidupan sekolah tidak terlalu membosankan. Anon membaginya denganku dan kami sepakat untuk menelannya secara bersamaan. Untuk beberapa saat, kami tidak merasakan apa-apa, namun selang beberapa jam, kami mulai merasa pusing dan tertidur.

Kami berdua bangun pada saat yang bersamaan, dan dalam tempat yang benar-benar berbeda! Kami tidak lagi berada dalam Kamar Anon, melainkan sebuah ruangan gelap dengan lantai batu bata. Seorang gadis datang pada kami, Putri Luceat. Gadis itu menjelaskan bahwa ia adalah pemimpin dari Kerajaan Fonsia, sebuah wilayah dimana kami sedang berpijak. Karena matahari sudah cukup terbenam, Putri Luceat menyuruh kami beristirahat terlebih dahulu dan mengantarkan kami pada sebuah bilik dibawah ruangan awal. Terdapat dua kasur, lilin, dan sebuah kamar mandi. Kami tidak berpikir panjang untuk mengakhiri hari.

Cukup pagi tadi, Putri Luceat datang kembali kemari dan menjelaskan bahwa akan diadakan sebuah perjamuan atas kedatangan kami, tempat dimana kami sekarang berada. Semua sudah cukup menyelesaikan makanan masing-masing, sementara Anon masih mencicipi beragam hidangan pencuci mulut yang ada. Dia benar-benar terlalu santai terhadap situasi kita sekarang.

Merasa bahwa semua sudah menyelesaikan makanan, Putri Luceat mulai berbicara.

“Sebelumnya, kedua sosok yang legendaris, bolehkah aku mengetahui kedua nama kalian?” Tanya Sang Putri.

“A-Amku Amon!” Jawab Anon dengan mulut penuh

“Dia adalah Anon, dan aku adalah Awan, Tuan Putri.” Jawabku.

“Baik. Kurasa, aku perlu menjelaskan beberapa hal, dan aku harap kalian siap mendengarkan.” Tuturnya.

Aku mengangguk, sementara Anon mengeluarkan suara Mmhmm yang cukup kencang.

Putri Luceat pun mulai menjelaskan.

“Dua bulan yang lalu, kedua orang tuaku, Raja dan Ratu Fonsia, meninggalkan kerajaan untuk berlayar menuju kerajaan utara dengan tujuan Diplomasi. Mereka menitipkan wewenang kerajaan kepadaku.

Kemudian, sekitar sebulan yang lalu, sebuah desa pinggiran di timur mengalami serangan goblin. Setelah pasukan kerajaan menghalau makhluk buas tersebut, warga desa mengatakan bahwa pada umumnya, goblin tidak akan berani untuk menyerang pemukiman manusia. Namun, kali ini mereka menyaksikan para goblin datang menyerang bersama dengan pasukan tengkorak. Kami segera mengutus tim pengintai, dan mereka kembali dengan dugaan kuat bahwa ada sesosok penyihir jahat yang mengutus tengkorak-tengkorak itu untuk menyerang pemukiman. Letaknya berada dalam sebuah terowongan bawah tanah beberapa mil dari pedesaan tersebut.

Kami mengira bahwa sosok tersebut hanyalah penyihir biasa. Namun, beberapa hari kemudian, sebuah meteor jatuh tepat di belakang istana. Penasehat kerajaan, Tuan Prudens, dalam kecurigaannya, menemukan sebuah gulungan kuno milik leluhur kerajaan dari perpustakaan; kejadian-kejadian ini sudah diramalkan. Dan sosok yang bersarang tersebut bukanlah sebuah penyihir biasa, melainkan sesosok Raja Iblis yang sedang mengumpulkan kekuatannya.

Benar saja, peristiwa selanjutnya dalam ramalan tersebut adalah kemunculan kalian! Dua orang pahlawan dari dunia lain untuk menyelamatkan kami, yang muncul secara ajaib dari menara perpustakaan kuno!

Jadi, aku memohon kepada kalian berdua, pahlawan legendaris Fonsia, untuk menyelamatkan kerajaan kami dari malapetaka!” Ucap Putri Luceat dengan mata yang berkaca-kaca.

Entahlah, semua keanehan ini sudah cukup nyata bagiku. Lebih baik aku mengikuti alur cerita ini. Dengan mulut yang penuh kue mangkuk, Anon memandangku dan mengacungkan jempol.

“Kami akan menolongmu, Tuan Putri.” Jawabku.

Putri Luceat pun hanyut dalam sebuah tangisan rasa syukur. Seorang pelayan pribadinya mengatakan pada kami bahwa Sang Putri benar-benar bahagia atas ketersediaan kami untuk menolong.

Malam itu, sebelum tidur, aku sempat berbincang dengan Anon.

“Menurutmu, apakah melawan Sang Raja Iblis akan sulit?” Tanyaku.

“Entahlah. Mungkin tidak akan terlalu sulit. Optimis, Bung.” Jawab Anon.

“Kemudian, menurutmu, bagaimana kita bisa pulang? Maksudku, kembali lagi, ke, err, kamarmu?” Tanyaku lagi.

“Entahlah. Mungkin setelah mengalahkan Sang Raja Iblis?” Jawabnya.

“Hmm.”

 

Keesokan harinya.

 

“Ini, kedua pahlawan Fonsia, adalah meteor yang aku ceritakan kemarin! Menurut isi ramalan, batu ini dapat dipanaskan dan ditempa untuk menciptakan sebuah senjata yang dapat mengalahkan Sang Raja Iblis! Aku menamainya Lapis ex Fortuna!” Ucap Putri Luceat dengan ceria.

Didepan kami, terdapat sebuah bongkahan batu raksasa dengan beberapa guratan bercahaya biru tua dan wujud yang hampir bulat sempurna. Dari ukurannya, terlihat bahwa batu ini paling tidak memiliki berat sekitar beberapa ton.

“Sayangnya, tidak ada alat yang dapat memecah batu ini. Bahkan beliung yang terbaik pun nampaknya tidak dapat memberikan goresan.” Lanjut Sang Putri dengan nada sedih.

Eh? Lantas, bagaimana kita akan menempanya? Pikirku.

“Maka dari itu, salah satu dari kalian akan menetap disini untuk mengutak-atik komposisi batuan ini. Mungkin, karena kalian adalah pahlawan legendaris, kalian dapat mengetahui sebuah cara untuk memecahkan batu ini. Tentunya kerajaan juga akan membantu sebisa kami.” Ucap Sang Putri.

“Kami tidak keberatan untuk berusaha mencari solusi mengenai batu ini, tapi tadi Tuan Putri menyebutkan bahwa salah satu dari kami yang akan melakukannya? Bagaimana dengan yang lain?” Tanyaku dengan heran.

“Oh, apakah aku belum memberitahu kalian? Desa Barat dan Selatan juga sedang ditempati oleh kawanan goblin. Aku memohon agar salah satu dari kalian akan pergi dalam sebuah perjalanan untuk membebaskan desa-desa itu satu persatu. Setelah mengetahui bahwa penyihir itu adalah sesosok Raja Iblis, maka dengan berat hati, aku harus mengatakan bahwa seluruh pasukan Fonsia akan bersiaga di istana untuk mencegah serangan yang bisa terjadi kapanpun.” Jawab Sang Putri.

“O-Oh…” Gumamku dengan agak khawatir.

Menanggapi wajahku yang menyiratkan keraguan, Putri Luceat berusaha menenangkanku.

“Jangan khawatir. Gulungan ramalan ternyata juga memiliki teka-teki, yang kemudian mengarah pada sebuah ruangan rahasia dalam menara perpustakaan. Dalam ruangan itu, kami menemukan dua perlengkapan zirah, dan dua bilah pedang. Para pahlawan, aku sangat yakin kedua perlengkapan itu ditujukan untuk kalian.” Ucap Sang Putri, berusaha menyemangatiku.

“Ah! Sebuah perlengkapan legendaris! Anon, nampaknya kita memang punya kesempatan untuk mengalahkan Sang Raja Iblis dan pasukannya!” Ucapku dengan penuh harapan.

Anon hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Baik, kemudian, siapakah dari kalian yang akan menetap untuk mencari cara menempa batu ini?” Tanya Sang Putri.

Melirik seorang pelayan yang membawa sepiring kue mangkuk langsung dari dapur, Anon pun berteriak.

“Aku!”

 

Seminggu kemudian.

 

Setelah seminggu perjalanan, akhirnya aku telah sampai pada desa barat. Karena berada dalam wilayah pegunungan, kabut yang menyelimuti pedesaan ini cukup padat. Sebelum turun dari kereta kuda, aku menyampaikan pada dua prajurit yag dikirim bersamaku untuk berjaga di gerbang desa untuk mencegah apapun melarikan diri.

Aku pun mengenakan zirahku dan menaruh pedangku di punggung. Mungkin, perlengkapan ini memanglah legendaris. Aku hampir tidak merasakan beban dari zirah ini, dan entahlah, pedang ini mungkin bisa memotong apapun layaknya mentega.

Beberapa langkah memasuki desa, terlihat ada beberapa goblin yang mengintip dari jendela-jendela rumah. Tempat ini jelas telah diduduki. Setelah aku sampai pada tengah desa, sebuah kolam mata air pancur, segerombol gomblin melingkariku, semua memegang senjata dan tertawa. Dari belakang gerombolan, terlihat sebuah sosok besar bersisik datang untuk menyambutku. Seekor Manusia Kadal raksasa dengan kapak raksasa.

Oh, aku mengerti apa ini. Sebuah arena. Para goblin menantangku untuk berduel dengan Manusia Kadal utusan Raja Iblis ini.

Hmm, aku penasaran, apa yang sedang dilakukan oleh Anon pada saat ini, ya? Maksudku, dia memang pemalas, tapi terkadang, pemikirannya cemerlang.

 

Setelah sebuah pertarungan sengit.

 

Aku berhasil mengalahkan Sang Manusia Kadal. Pada awalnya, seranganku selalu dapat ditangkis dan sebuah pukulan dari makhluk buas itu membuatku melayang hingga tersangkut dalam atap suatu rumah. Namun, ketika ia menghampiriku, aku melompat dan berpegangan pada lehernya, mencekik dengan erat hingga ia terjatuh. Aku segera bangkit kembali dan menusuknya tepat di jantung ketika ia sedang terbalik.

“Raja Exterreri… akan… mengalahkan kalian…” Rintih Sang Manusia Kadal sebelum mati.

Dengan matinya Sang Manusia Kadal, para goblin lari terbirit-birit meninggalkan desa. Dua penjaga yang kuperintahkan untuk menjaga tentu tidak dapat menghalau semuanya.

Efek perlindungan yang diberikah oleh zirah ini sungguh luar biasa. Aku hanya merasa sedikit sakit ketika aku dipukul dan terlempar. Begitu juga pedang ini, tidak semua bilah dapat menembus sisik begitu saja.

Sudah menyelesaikan ancaman yang ada di desa ini, aku dan para prajurit memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju desa selanjutnya.

 

Seminggu kemudian.

 

Perjalanan kali ini lebih singkat, namun di tengah perjalanan, orang yang menyetir kereta kuda memutuskan untuk berhenti sehari demi mengumpulkan batu-batu permata dari sebuah sungai dalam rute kami.

Sesaat setelah memasuki desa, sebuah bau anyir darah dapat dirasakan di udara.

Terdengar sebuah auman singa dan suara… kambing? Apakah utusan kali ini adalah sebuah singa raksasa? Singa yang menerkam ternak para warga? Kemudian, kenapa aku tidak melihat ada goblin sama sekali?

Semua pertanyaanku terjawab ketika sosok utusan itu datang menyambutku. Bau darah itu bukanlah darah kambing, melainkan darah… goblin. Sambil menggigit sebuah potongan tangan goblin yang terkoyak, makhluk itu menatapku. Seekor Chimera. Aku menarik pedangku dan bersiap untuk menghadapi hewan buas ini. Dalam detik-detik sebelum aku melaju menuju pertarungan, aku berpikir.

Kira-kira, bagaimana perkembangan dari pembuatan senjata legendaris dari batu raksasa itu, ya? Apakah akan menjadi sebuah pedang? Atau berbentuk senjata lainnya? Haha! Semoga Anon menyiapkan kejutan yang menarik untukku!

 

Setelah sebuah pertarungan sengit lainnya.

 

Aku berhasil mengalahkan Sang Chimera. Pertama, aku memutus ekor ularnya. Kemudian, selanjutnya hanyalah serangan bertubi-tubi dariku melalui celah-celah tangkisan Sang Chimera. Walaupun begitu, aku sempat terpental beberapa kali dan cakarannya meninggalkan goresan yang cukup signifikan pada zirahku.

Baiklah, yang penting segalanya sudah selesai. Desa Barat dan Selatan sudah aman dari monster. Kini, kami akan melaju kencang menuju Desa Timur. Sesuai rencana, aku akan bertemu dengan Anon di sana dan bersama-sama menyerang Sang Raja Iblis dengan pusaka meteorit.

 

Beberapa hari kemudian.

 

Aku berdiri tepat didepan pintu masuk menuju terowongan Sang Raja Iblis. Aku telah sampai bertepatan dengan pasukan kerajaan, bersamaan dengan Anon, yang juga mengarah kemari. Kami semua bersiap-siap dengan satu tujuan; mengalahkan Sang Raja Iblis; Exterreri, namanya. Kudengar dari Sang Manusia Kadal. Anehnya, tidak ada utusan sama sekali yang menjaga pintu masuk. Sekilas, tidak akan ada yang mengira bahwa ini adalah sebuah terowongan yang mengarah pada kediaman sesosok Raja Iblis.

Bersama Anon yang juga mengenakan zirah serupa, aku pun masuk terowongan gelap itu. Dengan jalan yang semakin menurun, kami kian berjalan menuju kedalaman bawah tanah. Hingga kami sampai pada sebuah aula luas.

Sebuah suara menggelegar menyambut kami. Tidak lain adalah Sang Raja Iblis. Nampaknya, ia sudah siap dengan kedatangan kami dan bersiap untuk bertarung. Ia cukup sombong untuk tidak membawa anak buah sama sekali.

“Bersiap, Anon!” Teriakku.

Anon mengangguk.

Sang Raja Iblis melebarkan tangannya dalam sebuah upaya untuk menakut-nakuti kami.

“Selamat datang, pahlawan, kepada ajal kalian! Hahahaha!”

 

Pertarungan berjalan dengan sangat menegangkan.

 

Nampaknya, Sang Raja Iblis adalah sebuah penyihir tipe petarung, dimana gerakannya cukup lincah untuk menghindari semua serangan kami, sambil terus merapalkan mantra serangan bola api yang kerap mengenai kami berdua.

 

“Argh! Aku, aku tidak yakin dapat menahan lebih banyak serangan lagi!” Teriakku.

“T-Tunggu saja! Pertahankan strategi yang sudah direncanakan!” Jawab Awan.

Sosok raksasa bertanduk itu tertawa terbahak-bahak seraya kami berjuang untuk mendaratkan serangan. Sambil menghindar, raksasa itu terus merapalkan mantra bola api dan melemparkannya pada kami.

“Hmmm. Kedua senjata pusaka Fonsia. Memang, bilahnya dapat menembus kulitku. Namun, kalian tidak memiliki peluang membunuhku! Ahahaha! Aku akan tetap menghindar dan mengubah kalian menjadi arang dengan serangan bola api yang bertubi-tubi!” Teriak Sang Raja Iblis.

Sial. Tidak hanya diriku, namun aku juga merasa bahwa zirah ini mendekati batasnya. Apa yang terjadi dengan rencananya?

“Anon? Bagaimana dengan rencananya?” Tanyaku dengan kencang.

“T-Tunggu sebentar! Sebentar lagi! Tunggu saat yang tepat!” Jawabnya tidak kalah kencang.

Aku benar-benar frustasi dengan jawabannya. Mulai dari tadi, Anon bahkan tidak menceritakan padaku mengenai rencananya maupun keberhasilan apa yang didapat dari usahanya memecah batu meteor itu.

Dalam suasana yang kacau dan bola api berterbangan, aku pun tidak dapat menahan emosi.

“ANON! MEMANGNYA KEMAJUAN APA YANG SUDAH KAU RAIH DARI BATU SIALAN ITU?!” Teriakku dengan penuh emosi.

Anon juga nampak tidak dapat tahan untuk tetap bungkam. Ia pun turut berteriak.

“TIDAK ADA! AKU BAHKAN TIDAK DAPAT MENGGORES BATU SIALAN ITU! ‘FORTUNA’ TERKUTUK! ITU HANYALAH SEBONGKAH KEPUTUSASAAN!”

Aula itu menjadi hening, kecuali bara api dari serangan Sang Raja Iblis yang meleset.

Aku telah gagal. Kami telah gagal. Kami tidak dapat melakukan apa-apa. Kami tidak dapat pulang. Dan kurasa, kami akan mati disini. Tubuhku lemas, dan aku terjatuh pada kedua lututku.

Anon nampaknya belum cukup menyerah. Disaat Sang Raja Iblis mendekatiku, Anon melesat didepanku dan mencoba menyerang raksasa itu. Perlahan, ia cukup berhasil membuat monster itu mundur jauh dariku. Sang Raja Iblis, hanyut dalam kesombongan, hanya menangkis serangan Anon dengan berjalan mundur setapak demi setapak, tidak selincah tadi.

Hingga.

“Ugh!” Rintih Anon. Dia terpeleset.

Serius. Bagaimana dia bisa terpeleset? Bahkan tidak kulihat sumber air sama sekali disini.

Bertukar posisi, kini Anon berjalan merangkak mundur menuju arahku dengan perlahan, bergetar ketakutan oleh Sang Raja Iblis yang berjalan menghampiri kami. Hingga kemudian, Sang Raja Iblis berdiri tepat pada tempat Anon tadi terpeleset.

Anon pun tiba-tiba berteriak.

“Kue Mangkuk!”

Terdengar suara gemuruh dari langit-langit aula, dan tiba-tiba, sesuatu datang dari atas. Sesuatu yang besar. Tepat diatas Sang Raja Iblis. Sang Raja Iblis berusaha menghindar dengan cepat, namun langkahnya yang terlalu lincah justru membuatnya terpeleset.

Apa yang muncul adalah… sebongkah batu raksasa. Lapis ex Fortuna.

Sang Raja Iblis berusaha menahannya dengan kedua tangannya, namun sia-sia. Beban dari batu itu cukup berat untuk bahkan membuat retak lantai di bagian sekitar ia mendarat. Nasib Sang Raja Iblis sudah tidak perlu dipertanyakan. Ia terpendam longsor.

Aku melongo.

Aku mengalihkan pandanganku pada Anon, dan ia memandangku dengan senyuman.

 

Keesokan harinya.

 

“Dan kalian tahu apa yang paling lucu? Aku baru ingat bahwa tidak ada yang ingat untuk memberitahu Awan tentang rencana ini! Hahahaha!” Ucap Anon yang disusul tawa kencang.

Kami sedang berada dalam istana, menghadiri sebuah acara perjamuan sebagai rasa syukur atas selesainya krisis ini. Tanpa aku ketahui, Anon dan warga istana sepakat untuk tidak mengutak-atik batu itu. Alih-alih, mereka berencana untuk memanfaatkan satu-satunya hal yang dapat dimanfaatkan dari batu itu; beratnya. Anon memberikan instruksi bagi prajurit kerajaan untuk mengutus sebuah tim khusus, yang juga terdiri dari warga desa timur, untuk menggali sebuah lubang tepat diatas markas Sang Raja Iblis. Mereka juga secara diam-diam mengangkut dan memindahkan batu itu agar dekat dengan titik eksekusi. Pada hari yang telah dinantikan, para prajurit menuangkan air untuk memastikan bahwa lubang galian mereka sudah cukup dalam bagi batu itu untuk dapat terjun dan menimbulkan sebuah longsor.

Teriakan pertama Anon memberikan indikasi atas bagaimana airnya sudah sampai pada ruangan itu, agar para prajurit dapat memiliki perhitungan kasar atas sejak air tersebut dituangkan. Kebetulan, aku juga berteriak pada saat yang sama, dimana hal ini membuat atraksi kami semakin meyakinkan. Namun, aku agak malu untuk mengingat-ingat itu lagi. Sementara itu, teriakan kedua sudah cukup jelas; sebagai sinyal bagi para prajurit untuk menjatuhkan batunya.

“Bagaimana jika tidak berhasil?” Ucapku.

Anon terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi berhasil, ‘kan?” Balasnya.

 

Aku hanya terdiam. Entahlah. Mungkin kami telah sampai pada bagian resolusi dari kisah ini. Kami, sebagai dua pahlawan yang dibanggakan, telah membawa keselamatan bagi Kerajaan Fonsia dan menyelamatkannya dari marabahaya. Mungkin, ini saatnya aku dapat bersantai dan menikmati hidangan-hidangan ini.

Benar ‘kan, Anon?

Anon hanya terdiam, matanya tampak bergulir keatas. Mulutnya penuh dengan kue mangkuk, namun tidak dikunyah. Sesaat kemudian, ia ambruk di meja makan.

Apa yang terjadi?

Aku juga merasa… pusing. Sangat pusing. Lemas. Mual. Apa yang terjadi padaku? Tolong… Siapapun… Aku…

Suasana menjadi hening. Aku memejamkan mataku dan pingsan menyusul Anon.

Dalam keheningan, aku dapat mendengar Anon muntah-muntah, dan sebuah suara perempuan berteriak histeris memanggil namanya.

 

---

 

Beberapa hari setelah kejadian itu, sebuah tim investigasi dari kepolisian berhasil menjerat beberapa oknum dari sebuah jaringan narkoba yang luas. Menurut pengakuan dari para pelaku, mereka menggunakan identitas palsu sebagai seseorang yang membagikan jajanan bagi anak kecil, dimana mereka akan ketagihan dan mulai membeli untuk mendapatkan obat-obatan terlarang tersebut.

Dalam sebuah pelacakan intensif, ditemukan dua korban dari modus operandi tersebut yang masih dibawah umur dan merupakan siswa dari sekolah terdekat. Sebelum ditemukan, kedua anak kecil tersebut hanyut dalam halusinasi yang disebabkan oleh obat tersebut, dan terbawa dalam sebuah fenomena Folie à deux atau Shared Psychosis, dimana kedua korban tersebut bersama-sama merajut sebuah imajinasi ilusi yang sama.

 

---

 

Pesan Penulis

Pada kesempatan kali ini, saya berencana untuk membawakan sebuah cerita pendek (cerpen) mengenai halusinasi dua orang bocah yang disebabkan oleh adanya pengaruh obat-obatan psikotropika terlarang. Saya ingin menampilkan sedikit kepada pembaca bahwa halusinasi tidak selalu menjadi hal yang buruk, dan bahkan dapat memiliki unsur cerita yang menarik. Namun, konsekuensinya dalam dunia nyata tentu tidaklah enteng. Selain membawa tema narkoba, saya juga ingin menyajikan adanya fenomena Shared Psychosis, dimana secara psikologis, dua orang atau lebih dapat hanyut dalam ilusi yang sama. Fenomena tersebut menjadi dasar atas penciptaan cerita ini. Bagi semua pembaca, jangan segan untuk memberikan kritik dan saran terhadap kepenulisan saya; saya hanyalah penulis amatir!

Saya ingin mengingatkan kembali kepada seluruh pembaca bahwa Kepemilikan, Penggunaan, dan Peredaran segala macam zat terlarang merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum yang dapat dijerat oleh pasal-pasal bersangkutan. Apabila anda atau orang-orang yang anda kenal, terbukti melakukan tindakan tersebut, maka jangan segan untuk melapor kepada pihak berwajib dan segera mencari bantuan rehabilitasi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wujud Bela Negara Ketika Pandemi Melanda

Urgensi bela negara bagi pemuda Indonesia menjelang bonus demografi

Apa Itu Bela Negara dan Peran Generasi Muda Dalam Bela Negara