Pahlawan Fonsia
Oleh : Erwin Cahya Nugraha
Dalam sebuah aula yang gelap dan
kelam.
“Argh! Aku, aku tidak yakin dapat
menahan lebih banyak serangan lagi!” Teriakku.
“T-Tunggu saja! Pertahankan
strategi yang sudah direncanakan!” Jawab Awan.
Sosok
raksasa bertanduk itu tertawa terbahak-bahak seraya kami berjuang untuk
mendaratkan serangan. Sambil menghindar, raksasa itu terus merapalkan mantra
bola api dan melemparkannya pada kami.
“Hmmm.
Kedua senjata pusaka Fonsia. Memang, bilahnya dapat menembus kulitku. Namun,
kalian tidak memiliki peluang membunuhku! Ahahaha! Aku akan tetap menghindar
dan mengubah kalian menjadi arang dengan serangan bola api yang bertubi-tubi!”
Teriak Sang Raja Iblis.
Beberapa minggu sebelumnya.
Namaku
adalah Awan. Temanku yang terlalu santai di sebelah sana adalah Anon. Kemarin,
Anon mengundangku ke rumahnya untuk menunjukkan sebuah “temuan” ajaib; sebuah
kantong permen yang didapatnya dari menolong seorang kakek tua. Dari penuturan
kakek itu, permen ini dapat membantu agar kehidupan sekolah tidak terlalu
membosankan. Anon membaginya denganku dan kami sepakat untuk menelannya secara
bersamaan. Untuk beberapa saat, kami tidak merasakan apa-apa, namun selang
beberapa jam, kami mulai merasa pusing dan tertidur.
Kami
berdua bangun pada saat yang bersamaan, dan dalam tempat yang benar-benar
berbeda! Kami tidak lagi berada dalam Kamar Anon, melainkan sebuah ruangan
gelap dengan lantai batu bata. Seorang gadis datang pada kami, Putri Luceat.
Gadis itu menjelaskan bahwa ia adalah pemimpin dari Kerajaan Fonsia, sebuah
wilayah dimana kami sedang berpijak. Karena matahari sudah cukup terbenam,
Putri Luceat menyuruh kami beristirahat terlebih dahulu dan mengantarkan kami
pada sebuah bilik dibawah ruangan awal. Terdapat dua kasur, lilin, dan sebuah
kamar mandi. Kami tidak berpikir panjang untuk mengakhiri hari.
Cukup
pagi tadi, Putri Luceat datang kembali kemari dan menjelaskan bahwa akan
diadakan sebuah perjamuan atas kedatangan kami, tempat dimana kami sekarang
berada. Semua sudah cukup menyelesaikan makanan masing-masing, sementara Anon
masih mencicipi beragam hidangan pencuci mulut yang ada. Dia benar-benar
terlalu santai terhadap situasi kita sekarang.
Merasa bahwa semua sudah
menyelesaikan makanan, Putri Luceat mulai berbicara.
“Sebelumnya, kedua sosok yang
legendaris, bolehkah aku mengetahui kedua nama kalian?” Tanya Sang Putri.
“A-Amku Amon!” Jawab Anon dengan
mulut penuh
“Dia adalah Anon, dan aku adalah
Awan, Tuan Putri.” Jawabku.
“Baik. Kurasa, aku perlu
menjelaskan beberapa hal, dan aku harap kalian siap mendengarkan.” Tuturnya.
Aku mengangguk, sementara Anon
mengeluarkan suara Mmhmm yang cukup kencang.
Putri Luceat pun mulai
menjelaskan.
“Dua
bulan yang lalu, kedua orang tuaku, Raja dan Ratu Fonsia, meninggalkan kerajaan
untuk berlayar menuju kerajaan utara dengan tujuan Diplomasi. Mereka menitipkan
wewenang kerajaan kepadaku.
Kemudian,
sekitar sebulan yang lalu, sebuah desa pinggiran di timur mengalami serangan
goblin. Setelah pasukan kerajaan menghalau makhluk buas tersebut, warga desa
mengatakan bahwa pada umumnya, goblin tidak akan berani untuk menyerang
pemukiman manusia. Namun, kali ini mereka menyaksikan para goblin datang menyerang
bersama dengan pasukan tengkorak. Kami segera mengutus tim pengintai, dan
mereka kembali dengan dugaan kuat bahwa ada sesosok penyihir jahat yang
mengutus tengkorak-tengkorak itu untuk menyerang pemukiman. Letaknya berada
dalam sebuah terowongan bawah tanah beberapa mil dari pedesaan tersebut.
Kami
mengira bahwa sosok tersebut hanyalah penyihir biasa. Namun, beberapa hari
kemudian, sebuah meteor jatuh tepat di belakang istana. Penasehat kerajaan,
Tuan Prudens, dalam kecurigaannya, menemukan sebuah gulungan kuno milik leluhur
kerajaan dari perpustakaan; kejadian-kejadian ini sudah diramalkan. Dan sosok
yang bersarang tersebut bukanlah sebuah penyihir biasa, melainkan sesosok Raja
Iblis yang sedang mengumpulkan kekuatannya.
Benar
saja, peristiwa selanjutnya dalam ramalan tersebut adalah kemunculan kalian!
Dua orang pahlawan dari dunia lain untuk menyelamatkan kami, yang muncul secara
ajaib dari menara perpustakaan kuno!
Jadi, aku
memohon kepada kalian berdua, pahlawan legendaris Fonsia, untuk menyelamatkan
kerajaan kami dari malapetaka!” Ucap Putri Luceat dengan mata yang
berkaca-kaca.
Entahlah,
semua keanehan ini sudah cukup nyata bagiku. Lebih baik aku mengikuti alur
cerita ini. Dengan mulut yang penuh kue mangkuk, Anon memandangku dan
mengacungkan jempol.
“Kami akan menolongmu, Tuan
Putri.” Jawabku.
Putri
Luceat pun hanyut dalam sebuah tangisan rasa syukur. Seorang pelayan pribadinya
mengatakan pada kami bahwa Sang Putri benar-benar bahagia atas ketersediaan
kami untuk menolong.
Malam itu, sebelum tidur, aku
sempat berbincang dengan Anon.
“Menurutmu, apakah melawan Sang
Raja Iblis akan sulit?” Tanyaku.
“Entahlah. Mungkin tidak akan
terlalu sulit. Optimis, Bung.” Jawab Anon.
“Kemudian, menurutmu, bagaimana
kita bisa pulang? Maksudku, kembali lagi, ke, err, kamarmu?” Tanyaku lagi.
“Entahlah. Mungkin setelah
mengalahkan Sang Raja Iblis?” Jawabnya.
“Hmm.”
Keesokan harinya.
“Ini,
kedua pahlawan Fonsia, adalah meteor yang aku ceritakan kemarin! Menurut isi
ramalan, batu ini dapat dipanaskan dan ditempa untuk menciptakan sebuah senjata
yang dapat mengalahkan Sang Raja Iblis! Aku menamainya Lapis ex Fortuna!” Ucap
Putri Luceat dengan ceria.
Didepan
kami, terdapat sebuah bongkahan batu raksasa dengan beberapa guratan bercahaya
biru tua dan wujud yang hampir bulat sempurna. Dari ukurannya, terlihat bahwa
batu ini paling tidak memiliki berat sekitar beberapa ton.
“Sayangnya,
tidak ada alat yang dapat memecah batu ini. Bahkan beliung yang terbaik pun
nampaknya tidak dapat memberikan goresan.” Lanjut Sang Putri dengan nada sedih.
Eh? Lantas, bagaimana kita akan
menempanya? Pikirku.
“Maka
dari itu, salah satu dari kalian akan menetap disini untuk mengutak-atik
komposisi batuan ini. Mungkin, karena kalian adalah pahlawan legendaris, kalian
dapat mengetahui sebuah cara untuk memecahkan batu ini. Tentunya kerajaan juga
akan membantu sebisa kami.” Ucap Sang Putri.
“Kami
tidak keberatan untuk berusaha mencari solusi mengenai batu ini, tapi tadi Tuan
Putri menyebutkan bahwa salah satu dari kami yang akan melakukannya? Bagaimana
dengan yang lain?” Tanyaku dengan heran.
“Oh,
apakah aku belum memberitahu kalian? Desa Barat dan Selatan juga sedang
ditempati oleh kawanan goblin. Aku memohon agar salah satu dari kalian akan
pergi dalam sebuah perjalanan untuk membebaskan desa-desa itu satu persatu.
Setelah mengetahui bahwa penyihir itu adalah sesosok Raja Iblis, maka dengan
berat hati, aku harus mengatakan bahwa seluruh pasukan Fonsia akan bersiaga di
istana untuk mencegah serangan yang bisa terjadi kapanpun.” Jawab Sang Putri.
“O-Oh…” Gumamku dengan agak
khawatir.
Menanggapi wajahku yang
menyiratkan keraguan, Putri Luceat berusaha menenangkanku.
“Jangan
khawatir. Gulungan ramalan ternyata juga memiliki teka-teki, yang kemudian
mengarah pada sebuah ruangan rahasia dalam menara perpustakaan. Dalam ruangan
itu, kami menemukan dua perlengkapan zirah, dan dua bilah pedang. Para
pahlawan, aku sangat yakin kedua perlengkapan itu ditujukan untuk kalian.” Ucap
Sang Putri, berusaha menyemangatiku.
“Ah!
Sebuah perlengkapan legendaris! Anon, nampaknya kita memang punya kesempatan
untuk mengalahkan Sang Raja Iblis dan pasukannya!” Ucapku dengan penuh harapan.
Anon hanya mengangguk sambil
tersenyum.
“Baik,
kemudian, siapakah dari kalian yang akan menetap untuk mencari cara menempa
batu ini?” Tanya Sang Putri.
Melirik seorang pelayan yang
membawa sepiring kue mangkuk langsung dari dapur, Anon pun berteriak.
“Aku!”
Seminggu kemudian.
Setelah
seminggu perjalanan, akhirnya aku telah sampai pada desa barat. Karena berada
dalam wilayah pegunungan, kabut yang menyelimuti pedesaan ini cukup padat.
Sebelum turun dari kereta kuda, aku menyampaikan pada dua prajurit yag dikirim
bersamaku untuk berjaga di gerbang desa untuk mencegah apapun melarikan diri.
Aku pun
mengenakan zirahku dan menaruh pedangku di punggung. Mungkin, perlengkapan ini
memanglah legendaris. Aku hampir tidak merasakan beban dari zirah ini, dan
entahlah, pedang ini mungkin bisa memotong apapun layaknya mentega.
Beberapa
langkah memasuki desa, terlihat ada beberapa goblin yang mengintip dari
jendela-jendela rumah. Tempat ini jelas telah diduduki. Setelah aku sampai pada
tengah desa, sebuah kolam mata air pancur, segerombol gomblin melingkariku,
semua memegang senjata dan tertawa. Dari belakang gerombolan, terlihat sebuah
sosok besar bersisik datang untuk menyambutku. Seekor Manusia Kadal raksasa
dengan kapak raksasa.
Oh, aku mengerti apa ini. Sebuah
arena. Para goblin menantangku untuk berduel dengan Manusia Kadal utusan Raja
Iblis ini.
Hmm, aku penasaran, apa yang
sedang dilakukan oleh Anon pada saat ini, ya? Maksudku, dia memang pemalas,
tapi terkadang, pemikirannya cemerlang.
Setelah sebuah pertarungan
sengit.
Aku
berhasil mengalahkan Sang Manusia Kadal. Pada awalnya, seranganku selalu dapat
ditangkis dan sebuah pukulan dari makhluk buas itu membuatku melayang hingga
tersangkut dalam atap suatu rumah. Namun, ketika ia menghampiriku, aku melompat
dan berpegangan pada lehernya, mencekik dengan erat hingga ia terjatuh. Aku
segera bangkit kembali dan menusuknya tepat di jantung ketika ia sedang
terbalik.
“Raja Exterreri… akan…
mengalahkan kalian…” Rintih Sang Manusia Kadal sebelum mati.
Dengan
matinya Sang Manusia Kadal, para goblin lari terbirit-birit meninggalkan desa.
Dua penjaga yang kuperintahkan untuk menjaga tentu tidak dapat menghalau
semuanya.
Efek
perlindungan yang diberikah oleh zirah ini sungguh luar biasa. Aku hanya merasa
sedikit sakit ketika aku dipukul dan terlempar. Begitu juga pedang ini, tidak
semua bilah dapat menembus sisik begitu saja.
Sudah
menyelesaikan ancaman yang ada di desa ini, aku dan para prajurit memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan menuju desa selanjutnya.
Seminggu kemudian.
Perjalanan
kali ini lebih singkat, namun di tengah perjalanan, orang yang menyetir kereta
kuda memutuskan untuk berhenti sehari demi mengumpulkan batu-batu permata dari
sebuah sungai dalam rute kami.
Sesaat setelah memasuki desa,
sebuah bau anyir darah dapat dirasakan di udara.
Terdengar
sebuah auman singa dan suara… kambing? Apakah utusan kali ini adalah sebuah
singa raksasa? Singa yang menerkam ternak para warga? Kemudian, kenapa aku
tidak melihat ada goblin sama sekali?
Semua
pertanyaanku terjawab ketika sosok utusan itu datang menyambutku. Bau darah itu
bukanlah darah kambing, melainkan darah… goblin. Sambil menggigit sebuah
potongan tangan goblin yang terkoyak, makhluk itu menatapku. Seekor Chimera. Aku
menarik pedangku dan bersiap untuk menghadapi hewan buas ini. Dalam detik-detik
sebelum aku melaju menuju pertarungan, aku berpikir.
Kira-kira,
bagaimana perkembangan dari pembuatan senjata legendaris dari batu raksasa itu,
ya? Apakah akan menjadi sebuah pedang? Atau berbentuk senjata lainnya? Haha!
Semoga Anon menyiapkan kejutan yang menarik untukku!
Setelah sebuah pertarungan sengit
lainnya.
Aku
berhasil mengalahkan Sang Chimera. Pertama, aku memutus ekor ularnya. Kemudian,
selanjutnya hanyalah serangan bertubi-tubi dariku melalui celah-celah tangkisan
Sang Chimera. Walaupun begitu, aku sempat terpental beberapa kali dan
cakarannya meninggalkan goresan yang cukup signifikan pada zirahku.
Baiklah,
yang penting segalanya sudah selesai. Desa Barat dan Selatan sudah aman dari
monster. Kini, kami akan melaju kencang menuju Desa Timur. Sesuai rencana, aku
akan bertemu dengan Anon di sana dan bersama-sama menyerang Sang Raja Iblis
dengan pusaka meteorit.
Beberapa hari kemudian.
Aku
berdiri tepat didepan pintu masuk menuju terowongan Sang Raja Iblis. Aku telah
sampai bertepatan dengan pasukan kerajaan, bersamaan dengan Anon, yang juga
mengarah kemari. Kami semua bersiap-siap dengan satu tujuan; mengalahkan Sang
Raja Iblis; Exterreri, namanya. Kudengar dari Sang Manusia Kadal. Anehnya,
tidak ada utusan sama sekali yang menjaga pintu masuk. Sekilas, tidak akan ada
yang mengira bahwa ini adalah sebuah terowongan yang mengarah pada kediaman
sesosok Raja Iblis.
Bersama
Anon yang juga mengenakan zirah serupa, aku pun masuk terowongan gelap itu.
Dengan jalan yang semakin menurun, kami kian berjalan menuju kedalaman bawah
tanah. Hingga kami sampai pada sebuah aula luas.
Sebuah
suara menggelegar menyambut kami. Tidak lain adalah Sang Raja Iblis. Nampaknya,
ia sudah siap dengan kedatangan kami dan bersiap untuk bertarung. Ia cukup
sombong untuk tidak membawa anak buah sama sekali.
“Bersiap, Anon!” Teriakku.
Anon mengangguk.
Sang Raja Iblis melebarkan
tangannya dalam sebuah upaya untuk menakut-nakuti kami.
“Selamat datang, pahlawan, kepada
ajal kalian! Hahahaha!”
Pertarungan berjalan dengan sangat
menegangkan.
Nampaknya,
Sang Raja Iblis adalah sebuah penyihir tipe petarung, dimana gerakannya cukup
lincah untuk menghindari semua serangan kami, sambil terus merapalkan mantra
serangan bola api yang kerap mengenai kami berdua.
“Argh! Aku, aku tidak yakin dapat
menahan lebih banyak serangan lagi!” Teriakku.
“T-Tunggu saja! Pertahankan
strategi yang sudah direncanakan!” Jawab Awan.
Sosok
raksasa bertanduk itu tertawa terbahak-bahak seraya kami berjuang untuk
mendaratkan serangan. Sambil menghindar, raksasa itu terus merapalkan mantra
bola api dan melemparkannya pada kami.
“Hmmm.
Kedua senjata pusaka Fonsia. Memang, bilahnya dapat menembus kulitku. Namun,
kalian tidak memiliki peluang membunuhku! Ahahaha! Aku akan tetap menghindar
dan mengubah kalian menjadi arang dengan serangan bola api yang bertubi-tubi!”
Teriak Sang Raja Iblis.
Sial.
Tidak hanya diriku, namun aku juga merasa bahwa zirah ini mendekati batasnya.
Apa yang terjadi dengan rencananya?
“Anon? Bagaimana dengan
rencananya?” Tanyaku dengan kencang.
“T-Tunggu sebentar! Sebentar
lagi! Tunggu saat yang tepat!” Jawabnya tidak kalah kencang.
Aku
benar-benar frustasi dengan jawabannya. Mulai dari tadi, Anon bahkan tidak
menceritakan padaku mengenai rencananya maupun keberhasilan apa yang didapat
dari usahanya memecah batu meteor itu.
Dalam suasana yang kacau dan bola
api berterbangan, aku pun tidak dapat menahan emosi.
“ANON!
MEMANGNYA KEMAJUAN APA YANG SUDAH KAU RAIH DARI BATU SIALAN ITU?!” Teriakku
dengan penuh emosi.
Anon juga nampak tidak dapat
tahan untuk tetap bungkam. Ia pun turut berteriak.
“TIDAK
ADA! AKU BAHKAN TIDAK DAPAT MENGGORES BATU SIALAN ITU! ‘FORTUNA’ TERKUTUK! ITU
HANYALAH SEBONGKAH KEPUTUSASAAN!”
Aula itu menjadi hening, kecuali
bara api dari serangan Sang Raja Iblis yang meleset.
Aku telah
gagal. Kami telah gagal. Kami tidak dapat melakukan apa-apa. Kami tidak dapat
pulang. Dan kurasa, kami akan mati disini. Tubuhku lemas, dan aku terjatuh pada
kedua lututku.
Anon
nampaknya belum cukup menyerah. Disaat Sang Raja Iblis mendekatiku, Anon
melesat didepanku dan mencoba menyerang raksasa itu. Perlahan, ia cukup
berhasil membuat monster itu mundur jauh dariku. Sang Raja Iblis, hanyut dalam
kesombongan, hanya menangkis serangan Anon dengan berjalan mundur setapak demi
setapak, tidak selincah tadi.
Hingga.
“Ugh!” Rintih Anon. Dia
terpeleset.
Serius. Bagaimana dia bisa
terpeleset? Bahkan tidak kulihat sumber air sama sekali disini.
Bertukar
posisi, kini Anon berjalan merangkak mundur menuju arahku dengan perlahan,
bergetar ketakutan oleh Sang Raja Iblis yang berjalan menghampiri kami. Hingga
kemudian, Sang Raja Iblis berdiri tepat pada tempat Anon tadi terpeleset.
Anon pun tiba-tiba berteriak.
“Kue Mangkuk!”
Terdengar
suara gemuruh dari langit-langit aula, dan tiba-tiba, sesuatu datang dari atas.
Sesuatu yang besar. Tepat diatas Sang Raja Iblis. Sang Raja Iblis berusaha
menghindar dengan cepat, namun langkahnya yang terlalu lincah justru membuatnya
terpeleset.
Apa yang muncul adalah… sebongkah
batu raksasa. Lapis ex Fortuna.
Sang Raja
Iblis berusaha menahannya dengan kedua tangannya, namun sia-sia. Beban dari
batu itu cukup berat untuk bahkan membuat retak lantai di bagian sekitar ia
mendarat. Nasib Sang Raja Iblis sudah tidak perlu dipertanyakan. Ia terpendam
longsor.
Aku melongo.
Aku mengalihkan pandanganku pada
Anon, dan ia memandangku dengan senyuman.
Keesokan harinya.
“Dan
kalian tahu apa yang paling lucu? Aku baru ingat bahwa tidak ada yang ingat
untuk memberitahu Awan tentang rencana ini! Hahahaha!” Ucap Anon yang disusul
tawa kencang.
Kami
sedang berada dalam istana, menghadiri sebuah acara perjamuan sebagai rasa
syukur atas selesainya krisis ini. Tanpa aku ketahui, Anon dan warga istana
sepakat untuk tidak mengutak-atik batu itu. Alih-alih, mereka berencana untuk
memanfaatkan satu-satunya hal yang dapat dimanfaatkan dari batu itu; beratnya.
Anon memberikan instruksi bagi prajurit kerajaan untuk mengutus sebuah tim
khusus, yang juga terdiri dari warga desa timur, untuk menggali sebuah lubang
tepat diatas markas Sang Raja Iblis. Mereka juga secara diam-diam mengangkut
dan memindahkan batu itu agar dekat dengan titik eksekusi. Pada hari yang telah
dinantikan, para prajurit menuangkan air untuk memastikan bahwa lubang galian mereka
sudah cukup dalam bagi batu itu untuk dapat terjun dan menimbulkan sebuah
longsor.
Teriakan
pertama Anon memberikan indikasi atas bagaimana airnya sudah sampai pada
ruangan itu, agar para prajurit dapat memiliki perhitungan kasar atas sejak air
tersebut dituangkan. Kebetulan, aku juga berteriak pada saat yang sama, dimana
hal ini membuat atraksi kami semakin meyakinkan. Namun, aku agak malu untuk
mengingat-ingat itu lagi. Sementara itu, teriakan kedua sudah cukup jelas;
sebagai sinyal bagi para prajurit untuk menjatuhkan batunya.
“Bagaimana jika tidak berhasil?”
Ucapku.
Anon terdiam sejenak, lalu
berkata, “Tapi berhasil, ‘kan?” Balasnya.
Aku hanya
terdiam. Entahlah. Mungkin kami telah sampai pada bagian resolusi dari kisah
ini. Kami, sebagai dua pahlawan yang dibanggakan, telah membawa keselamatan
bagi Kerajaan Fonsia dan menyelamatkannya dari marabahaya. Mungkin, ini saatnya
aku dapat bersantai dan menikmati hidangan-hidangan ini.
Benar ‘kan, Anon?
Anon
hanya terdiam, matanya tampak bergulir keatas. Mulutnya penuh dengan kue
mangkuk, namun tidak dikunyah. Sesaat kemudian, ia ambruk di meja makan.
Apa yang terjadi?
Aku juga merasa… pusing. Sangat
pusing. Lemas. Mual. Apa yang terjadi padaku? Tolong… Siapapun… Aku…
Suasana menjadi hening. Aku
memejamkan mataku dan pingsan menyusul Anon.
Dalam keheningan, aku dapat
mendengar Anon muntah-muntah, dan sebuah suara perempuan berteriak histeris
memanggil namanya.
---
Beberapa
hari setelah kejadian itu, sebuah tim investigasi dari kepolisian berhasil
menjerat beberapa oknum dari sebuah jaringan narkoba yang luas. Menurut
pengakuan dari para pelaku, mereka menggunakan identitas palsu sebagai
seseorang yang membagikan jajanan bagi anak kecil, dimana mereka akan ketagihan
dan mulai membeli untuk mendapatkan obat-obatan terlarang tersebut.
Dalam
sebuah pelacakan intensif, ditemukan dua korban dari modus operandi tersebut
yang masih dibawah umur dan merupakan siswa dari sekolah terdekat. Sebelum
ditemukan, kedua anak kecil tersebut hanyut dalam halusinasi yang disebabkan
oleh obat tersebut, dan terbawa dalam sebuah fenomena Folie à deux atau Shared
Psychosis, dimana kedua korban tersebut bersama-sama merajut sebuah imajinasi
ilusi yang sama.
---
Pesan Penulis
Pada kesempatan
kali ini, saya berencana untuk membawakan sebuah cerita pendek (cerpen)
mengenai halusinasi dua orang bocah yang disebabkan oleh adanya pengaruh
obat-obatan psikotropika terlarang. Saya ingin menampilkan sedikit kepada
pembaca bahwa halusinasi tidak selalu menjadi hal yang buruk, dan bahkan dapat
memiliki unsur cerita yang menarik. Namun, konsekuensinya dalam dunia nyata
tentu tidaklah enteng. Selain membawa tema narkoba, saya juga ingin menyajikan
adanya fenomena Shared Psychosis, dimana secara psikologis, dua orang atau
lebih dapat hanyut dalam ilusi yang sama. Fenomena tersebut menjadi dasar atas
penciptaan cerita ini. Bagi semua pembaca, jangan segan untuk memberikan kritik
dan saran terhadap kepenulisan saya; saya hanyalah penulis amatir!
Saya
ingin mengingatkan kembali kepada seluruh pembaca bahwa Kepemilikan,
Penggunaan, dan Peredaran segala macam zat terlarang merupakan sebuah tindakan
pelanggaran hukum yang dapat dijerat oleh pasal-pasal bersangkutan. Apabila
anda atau orang-orang yang anda kenal, terbukti melakukan tindakan tersebut,
maka jangan segan untuk melapor kepada pihak berwajib dan segera mencari
bantuan rehabilitasi.
Komentar
Posting Komentar